Selasa, 01 Desember 2009

demi surga

Demi Surga

oleh: Hadiqun nuha*

Setiap kali aku datang ketempat itu, hatiku serasa disayat-sayat. Tempat yang mulanya penuh dengan sebutan nama-nama Yang Maha Kuasa, kini telah hangus, tinggal puing-puing hitam bekas kebakaran.

Banyak kenangan yang tersimpan dalam memori jiwaku, pengorbananku untuk tempat itu tidaklah sedikit, dari uang saku yang setiap bulan diberikan oleh orang tuaku sampai satu-satunya nyawa yang kupunya hampir aku infak-kan. Kata guruku, hal itu merupakan bagian dari pengorbananku demi mencari ridho-Nya lewat ketaatan dan pengorbanan yang tak terhingga untuk Imamku.

Guruku bilang, kehidupan yang sekarang ini hanyalah fatamorgana, sesuatu yang tampak nyata akan tetapi sebenarnya tidak ada. Yang tampak ini hanyalah fakta yang kecil, adapun yang tersembunyi dibaliknya ada yang lebih besar, yaitu realita. Realita yang sebenarnya dicari oleh setiap orang. Realitas kenikmatan yang hakiki, realitas itu berupa surga.

Disitulah tempat kehidupan abadi, semua orang berubah menjadi muda tanpa harus menjadi tua, bidadari-bidadari cantik yang sumsumnya menembus kulit jika dipandang, kulitnya putih bersih melebihi putihnya susu terputih sekalipun, disana ada sungai madu, ada sungai arak, pohon-pohon berakar diatas, jadi kalau kita mau memetik buahnya tidak perlu memanjat. Semuanya tinggal kerentek, tinggal niat, maka apapun yang kamu inginkan pasti akan segera tersedia didepan mata.

Kalau mengingat ulang kata-kata guruku itu, aku pasti ingat dengan nasehat seorang biksu yang ada di film kera sakti, dia bilang, kosong adalah berisi, berisi adalah kosong, jadi semua itu kosong, kosong itu hampa.

***

Dari sekian kenikmatan surga yang ditawarkan oleh guruku, aku hanya tertarik tentang satu hal, yaitu bidadari. Karena sebelum aku masuk ketempat ini aku dulu dikenal sebagai seorang playboy yang suka memacari teman-teman kuliahku ataupun teman-teman perempuanku dari dunia maya, bahkan aku berkali-kali menzinahi mereka, dan menyemprotkan bibit-bibitku kerahim mereka. Entah berapa anak perempuan yang sudah aku reguk kegadisannya. Tapi, aku juga terkadang merasa heran, kenapa kok mereka tidak hamil juga ya?. Mereka juga tidak menuntut pertanggung jawabanku setelah beradu kelamin dengan mereka, karena pada saat mereka melakukan itu denganku, mereka rela dan itu merupakan bukti cinta terhadapku.

“Wah, harga keperawanan sekarang kok murah sekali ya?”, sering aku bergumam seperti itu saat aku tidak bersama mereka. Tinggal bilang “I love you, aku sayang kamu”, maka semuanya akan beres. Raba sana-sini, cium sana-sini, flirting, petting, oral, sampai adu kelamin, istilah keren yang beredar di teman-teman kuliahku adalah ML alias making love atau bersetubuh.

Dan kalau sudah bosan, aku tinggal bilang “kita putus ya, kita sudah nggak cocok lagi”. Dan para perempuanku pun menurut. Paling-paling hanya nangis dan mukul-mukul dadaku sembari bilang, “kamu tega ya, kamu jahat”. Mereka tidak akan lapor polisi karena aku tidak akan bisa dikenai pasal pidana, soalnya kami melakukannya suka sama suka, mereka juga tidak akan mungkin lapor ke orang tua karena mereka takut dihentikan uang sakunya atau mungkin akan terusir dari keluarga karena telah membawa aib, yakni berhubungan badan sebelum menikah.

Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Demikian kata pepatah, ini yang aku alami dikisah percintaanku yang terakhir sebelum pelarianku dari rumah kontrakanku, tempat dimana aku biasa beradu nafas terengah-engah memburu kenikmatan puncak dengan keluarnya bibit-bibit kehidupan.

Kisah asmaraku ini juga tidak lepas dari persetubuhan yang merupakan bukti kesetiaan cinta yang selalu didengung-dengungkan oleh teman kuliahku. Kali ini aku berpacaran dengan anak seorang kyai besar di kota lembah, namanya Shinta, anaknya berjilbab, paras wajahnya kalem, tutur katanya lembu serta cerdas, kebetulan dia kuliah dikampus sebelah, kampus yang punya embel-embel islam.

Pada saat aku mengungkapkan cintaku kepadanya, dia menolak. Dia bilang cinta itu tidak boleh dibagi, dia tidak punya bagian cinta untukku, karena cintanya hanya untuk Allah dan keluarganya semata. Dia menceramahiku bahwa pacaran itu haram.

Apa yang dia ungkapkan tentang peraturan Islam yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan ini, aku anggap bagai siraman rohani yang setiap pagi aku tonton di TV, yang merupakan tambahan pengetahuan saja untuk mendapatkan nilai A di mata kuliah keagamaan, jadi tidak pernah merasuk kedalam hati.

Hingga pada suatu ketika dia datang ketempatku, dia mau menjadi pacarku asalkan pacaran kami adalah pacaran islami, dia bilang bahwa tempo hari setelah aku ungkapkan cintaku kepadanya dia langsung curhat ke ustadzahnya perihal cintaku ini. Ustadzahnya ngomong kalau pacaran itu tidak apa-apa, asalkan pacaran yang islami.

Bagai menang lotere dua milyar, aku langsung berteriak kegirangan bahkan hampir pingsan, meskipun saat itu aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan pacaran yang islami. Aku si bengal Yoyo bisa jadi pacar si cantik shinta yang memakai jilbab itu. Anak kyai besar pula.

***

Hari-hari demi hari, aku dan shinta semakin lengket, bisa dibilang dimana ada Shinta pasti disitu ada Yoyo. Meskipun disana-sini banyak aku dengar bisikan-bisikan sinis yang memojokkan Shinta, aku berusaha untuk cuek dan semuanya itu aku anggap sebagai angin lalu saja.

Ada yang bilang, “Eh, shinta kok pacaran ya sekarang?”, Setiap ada pertanyaan seperti itu, dia pasti menjawab, “Pacaran kita islami kok, jadi nggak dilarang sama agama”. Aku yang tidak tahu dengan konsep pacaran islami yang dimaksud dengan Shinta, hanya manggut-manggut saja. Tak pernah dia menjelaskan apa yang dimaksud dengan pacaran islami itu. Akupun juga tidak mau tahu tentang konsepsi pacaran ini. Yang terpenting buatku hanyalah Shinta sekarang jadi pacarku.

Namun sikap cuekku ini lama-kelamaan membuatku bosan, apalagi Shinta tidak pernah mau aku genggam tangannya dan kalau aku sedang memboncengnya, dia tidak pernah pegangan punggungku laiknya sejoli yang sedang dimabuk asmara. Dia hanya pegangan bamper belakang sepeda motorku. “Hemm..jangan-jangan ini ya yang dimaksud dengan pacaran Islami?” tanyaku dalam benak.

***

Seperti biasa, setiap malam minggu aku pasti apel kerumah kos Shinta, malam itu dia mengajakku untuk ikut kegiatan majlis taklim yang diselenggarakan di Masjid jamik tengah kota tempat aku kuliah. Ya aku pikir ini bagus untuk menambah pengetahuan agamaku biar dapat nilai A+ mata kuliah agama. Bisa kusebut sebagai nutrisi tambahan sajalah disamping apa yang aku dapat dengan nonton pengajian di TV waktu pagi hari.

Sesampai di tempat majlis taklim yang kami tuju, Shinta agak kaget, ternyata tidak ada orang sama sekali disana. Ternyata, pengajian itu ditunda besok malam. Hatiku senang bukan kepalang. Serasa bebas karena nutrisi tambahan ceramah agama yang sering membuat aku terkantuk-kantuk ini dibatalkan.

Malam itu langsung aku ajak Shinta pulang ke rumah kontrakanku. Tanpa aku nyana, sepanjang perjalanan pulang, Shinta mau memegang pinggangku. Aku hanya membisu tak bisa berujar walau sekejap.

Setelah melewati setengah jam penuh kebisuan, aku baru berani bicara saat kami sampai didepan rumah kontrakan. “Sayang, turun dong, tolong kamu bukakan pagarnya”.

Aku intip dari balik jendela ternyata tidak ada seorangpun didalam rumah. Tetangga sebelah bilang kalau semua teman kontrakanku keluar untuk nonton konser group musik terkenal di republik ini.

Suasana ini membuatku berbuat berani dengan mengenggam tangan halus yang baru saja dirasakan oleh pinggangku. Ternyata Shinta tidak menolak. Dan lama kelamaan tangan yang telah menoda banyak gadis ini mampu menaklukkan Shinta, si gadis berjilbab puteri seorang kyai besar di kota lembah, lalu terjadilah pergumulan itu. Aku bayar pergumulan itu dengan tiga kata magis, “I LOVE YOU”.

Sesudah puncak dari harga cinta itu aku dapatkan, aku semakin menghindar untuk berkomunikasi dengan Shinta, dulu aku bertemu dengannya sehari bisa tiga kali atau bahkan menungguinya seharian, sekarang seminggu hanya bertatap dengannya sekali atau bahkan tidak pernah.

“Mungkin aku sudah bosan dengannya ya..”, kupikir inilah saatnya aku menemui dia lalu mengeluarkan jurus pamungkasku.

Kubilang, “kita putus ya, kita sudah tidak cocok lagi”, plakk!, satu tamparan mendarat dipipi kananku. “Yo, aku sudah ceritain semuanya pada abah..”, “Kemarin, abah mau menjodohkanku dengan Gus Zami, dia putera sahabat karib abahku waktu dipondok, tapi aku tolak Yo, karena aku sayang banget sama kamu”. “Dan abah mau kita segera menikah, karena beliau ingin punya menantu anak kuliahan, biar bareng-bareng membangun pondok sama saudara-saudaraku yang lain, abah bilang pondok akan lebih bervariasi jika ada keluarga pengasuhnya yang lulusan perguruan tinggi, bukan pesantren salaf saja”. Jelasnya panjang lebar.

Bletak..! bagaikan disambar petir disiang bolong, aku gemetar, kepalaku pusing, wajahku memerah atau bahkan membiru tanda takut. Setengah tidak percaya aku bilang, “ii ii yaa..”

Siang itu aku langsung berkemas untuk pergi meninggalkan rumah kontrakanku, aku tidak mau menikah dengan anak kyai itu. “Aku tidak pantas menjadi orang seperti yang dibilang shinta, bangun pesatren lah, mengaji lah, aku tahu ilmu agama hanya untuk dapat nilai A kok, setelah itu pasti aku lupa semuanya, atau mungkin berusaha aku lupakan”. Gerutuku sambil bersiap meninggalkan rumah kontrakanku, saksi bisu atas semua pergumulanku.

Orang tuaku tidak tahu tentang semua hal yang aku lakukan disini, yang mereka tahu hanyalah bagaimana cara mendapatkan uang dan kapan harus mengirimkannya ke-aku, Yoyo, sang penakluk perempuan.

Sesudah kejadian itu, aku terpaksa menyembunyikan identitasku karena ternyata ayah si Shinta bukan hanya seorang kyai besar di kota lembah, dia dikenal juga oleh kyai-kyai yang lain di seantero republik ini, demi menemukanku, kyai-kyai tersebut berani mengerahkan santri-santri kesayangan mereka yang katanya kemampuannya melampui intelijen republik.

Aku selalu lolos dari pengejaran santri-santri suruhan kyai ini, karena aku sering sekali berganti nama, bahkan berganti-ganti wajah.

Sekian lama aku berlari, lama kelamaan aku merasa bosan, hingga suatu ketika aku bertemu orang yang bergamis putih, wajahnya bertanda hitam dijidat dan bercelana dibawah lutut.

Dia langsung tanya kepadaku, “Anda yoyo bukan?”, aku kaget sekali waktu dia tahu namaku, tapi aku berusaha netral saja, tidak seperti biasanya, seakan disihir, aku langsung mengakui bahwa itu adalah namaku. “Iya, itu nama saya”, “Oh..bertobatlah saudara, mari ikut saya, saya tidak akan menyakiti anda”. “Anda bukan suruhan dari kyai kota lembah bukan?”, tanyaku menyelidik.

“Saya kenal dengan beliau, tapi beliau tidak sepandangan dengan saya”.

“Maksud anda tidak sepandangan bagaimana?”

“Ya, pandangan kami tentang konsepsi Islam sangat berbeda, jadi dia adalah saingan saya dalam berdakwah”.

Aku bingung dengan perkataan orang ini, atau mungkin tidak paham sama sekali. Walaupun begitu, aku mau mengikuti dia, setelah mendengar kata “saingan”.

“Oh iya, perkenalkan nama saya Ikrim”. Orang itu mengulurkan tangannya untuk menjabat, hangat sekali jabatan tangannya. Hatiku serasa damai.

Aku diajak ketempat orang itu, disana banyak orang yang berlatih perang, sambil meneriakkan slogan-slogan anti barat disertai dengan teriakan menyebut nama-nama Allah.

“Inilah tempat kami menggembleng para mujahid-mujahid, orang-orang yang mau berkorban harta, waktu, bahkan nyawa hanya untuk mencari ridho-Nya”.

Inilah awal jutaan ukiran kenanganku, dengan berganti nama Ibnu juhad, aku bagai menemukan keluarga, teman, dan pemahaman tentang Islam yang aku rindukan.

Disini, aku harus mau digembleng fisikku siang hari dan malamnya aku harus mengikuti majlis taklim mereka, majlis taklim ini berbeda dengan majlis-majlis yang aku ketahui sebelumnya, karena setiap kalimat selesai diucapkan oleh sang Imam. Jamaah taklim pasti meneriakkan nama-nama Allah. Tapi hal inilah yang membuat aku tertarik dengan orang-orang disini. Merekaloyal sekali terhadap Imam serta sangat anti terhadap barat. Apapun perintah sang Imam pasti mereka lakukan. Jangankan sekedar mengambil mainan anak sang Imam di septic tank. Mengantar nyawa pun tidak akan masalah.

Semua itu demi untuk mendapat realita yang hakiki, yaitu surga dengan segala gambaran kenikmatannya. Akupun juga begitu, aku harus membeli kavlingan surgaku yang salah satunya dengan menyetor uang saku dari ortuku untuk Imamku. Aku sendiri tidak pernah mempertanyakan kemana perginya uang itu, dan untuk apa uang tersebut.

Ikrim yang sekarang jadi guruku itu bilang, “Ikhlaskanlah semua, kamu pasti dapat balasannya nanti, yaitu kebahagiaan hakiki”. Kalau sudah begitu, aku pasti tidak bisa berkata apa-apa, hanya diam, berdo’a dan bersyukur.

Suatu malam guruku memanggilku. “Saudaraku, kamu dipanggil Imam”,

“Ada apa guru?”

“Mungkin sudah saatnya kamu jadi pengantin”.

“Wah, benar ni guru? Jadi sebentar lagi aku menemui bidadariku untuk bersanding dipelaminan surga ya?”

“Iya”, jawab guruku singkat.

Menjadi pengantin adalah sarana bagi setiap orang disini untuk mengambil kavlingan surganya, menjadi pengantin harus merelakan nyawa terpisah dari jasad dengan cara bunuh diri. Yaitu meledakkan diri di arena-arena perjuangan, tempat dimana bangunan yang menampung kepentingan-kepentingan negara-negara barat berdiri.

Malam itu sang Imam memberikan ceramah yang agak lengkap tentang kenikmatan surga, sebuah realita hakiki yang akan aku dapat sebagai balasan atas ketaatanku tanpa syarat kepada Imamku. Malam itu aku tidak tidur, karena gambaran tentang surga sedang menari-nari didalam pikiranku.

Setelah sholat subuh digelarlah ritual pelepasan pengantin, ternyata yang jadi pengantin hari itu bukan hanya aku, tapi masih ada satu lagi orang setengah baya yang mengenakan rompi bom sepertiku. Setelah acara ini selesai, semua orang bersalaman denganku dan memelukku mengucapkan kata selamat.

Dengan bangga hati aku melangkah keluar dari tempat penggemblengan ini. “Bismillah”, ucapku dalam batin.

Setelah agak lama, sampailah aku diarena perjuanganku, setelah menyamar sedemikian rupa, orang setengah baya yang menjadi pengantin hari itu langsung meledakkan bom yang dirancang jadi rompi. Blarr! Tubuhnya hancur berkeping-keping. Seketika itu juga kerumumunan manusia berambut pirang yang ada disekitarnya berdarah-darah, tangannya copot, kepalanya hilang, kakinya tinggal satu. Lalu terdengarlah berbagai macam raungan.

Melihat keadaan itu, hatiku mengecil, aku takut, aku takut mati. Akhirnya aku lari, dan lari. Sampai aku ditangkap oleh intelelijen republik yang mau menuju lokasi kejadian perkara, rompi bomku dijinakkan, aku dilempar di ubin dingin penjara, aku dihajar, otakku dicuci, aku diinterogasi, dan aku mengakui semuanya, termasuk dimana tempat penggemblengan para pengantin.

Dalam gelapnya ruangan berjeruji besi, kudengar kyai dari kota lembah yang menjengukku bersama Shinta berbisik kepada kepala intelijen republik, “Tempat Imam itu sudah hangus merata”.


Malang, 25 Nopember 2009.

* Pegiat sastra di Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Maliki Malang.