Senin, 03 Oktober 2011

Keniscayaan Dialog dan Kerjasama

Teror para teroris yang terjadi di negeri ini seolah tak ada habisnya. Satu kasus bom bunuh diri belum sepenuhnya terungkap, terjadi kasus bom bunuh diri yang lain. Yang paling terakhir adalah kejadian bom bunuh diri di salah satu gereja di Kota Solo. Motivasi yang melatarbelakangi para teroris tersebut adalah mati sebagai syahid dan mendapat jaminan masuk surga. Doktrin ini sangat mungkin sekali mereka dapatkan dari para pembimbing agama mereka, buku-buku yang mereka baca, dan yang paling kuat adalah dari internalisasi nilai ideologi organisasi yang diikuti oleh para pelaku teror tersebut. Organisasi yang diikuti oleh para pelaku teror ini biasanya menanamkan paham keagamaan sempit yang tidak melakukan kontekstualisasi ajaran yang dianut. Organisasi-organisasi yang acapkali terang-terangan menentang nilai-nilai pokok kenegaraan yang dipakai oleh Republik Indonesia dan dibiarkan tumbuh subur ini biasanya gampang sekali melakukan justifikasi-justifikasi yang seringkali tidak benar terhadap kelompok lain. Segmen yang biasanya mereka ambil dalam rangka menyebarkan ide-ide radikal kanan ini adalah para mahasiswa. Mahasiswa yang mempunyai semangat tinggi dan kurang mengerti arti ke-Indonesia-an menjadi sasaran empuk bagi mereka. Mereka paham bahwa para mahasiswa biasanya teguh memegang sesuatu yang diyakini apabila hal tersebut sudah tertanam baik dalam jiwa. Mahasiswa mudah sekali untuk fanatik terhadap organisasi yang diikuti karena mereka disumpah untuk resmi bergabung dengan organisasi tersebut. Keadaan demikian banyak menimbulkan rasa eksklusivitas antara organisasi satu dengan yang lainnya. Sehingga nilai-nilai yang ada dalam diri mereka menjadi tertutup dan tidak diketahui oleh orang lain. Pikiran serta tindakan radikal yang terjadi biasanya tumbuh dari eksklusivitas kelompok yang seperti ini. Maka kewajiban untuk melakukan dialog dan bekerja sama dalam berbagai macam kegiatan menjadi suatu keniscayaan dalam rangka menumbuhkan mutual understanding atau rasa saling memahami antara satu dengan yang lain. Rasa inilah yang nantinya akan menuntun mereka keranah tindakan yang berdasar pada toleransi dan pikiran yang moderat. Meskipun organisasi-organisasi mainstream yang ada memang mengajarkan nilai-nilai toleransi dan moderatisme. Kewajiban melakukan dialog dan kerjasama antar organisasi ini bisa diatur dalam suatu peraturan tertentu yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun pihak rektorat masing-masing kampus. Apabila antar organisasi ini sulit untuk bertemu paling tidak ada payung hukum yang mewajibkan mereka untuk berdialog dan bekerja sama. Ini merupakan salah satu wujud peran pemerintah untuk mengatur negara supaya tercapai keadaan yang aman dan stabil dalam masyarakat. Seperti yang dicita-citakan para sosiolog awal macam Comte, Spencer, dan Durkheim. Hal ini bukan merupakan paksaan yang identik dengan tirani, namun ini merupakan cara pemerintah untuk menggerakkan masyarakat supaya bisa mengawasi dan memahami satu sama lainnya dengan wujud dialog dan kerjasama sehingga tercipta fungsi masing-masing struktur masyarakat yang saling menopang untuk meraih harmoni kehidupan. Penegakan aturan ini bisa terlaksana apabila Kolaborasi antara pihak rektorat dimasing-masing kampus dengan pemerintah berjalan dengan baik. Dengan demikian, usaha untuk menciptakan Indonesia damai paling tidak bisa terwujud melalui para pioner intelektual yang mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat kelak, yakni mahasiswa.