Selasa, 01 Desember 2009

demi surga

Demi Surga

oleh: Hadiqun nuha*

Setiap kali aku datang ketempat itu, hatiku serasa disayat-sayat. Tempat yang mulanya penuh dengan sebutan nama-nama Yang Maha Kuasa, kini telah hangus, tinggal puing-puing hitam bekas kebakaran.

Banyak kenangan yang tersimpan dalam memori jiwaku, pengorbananku untuk tempat itu tidaklah sedikit, dari uang saku yang setiap bulan diberikan oleh orang tuaku sampai satu-satunya nyawa yang kupunya hampir aku infak-kan. Kata guruku, hal itu merupakan bagian dari pengorbananku demi mencari ridho-Nya lewat ketaatan dan pengorbanan yang tak terhingga untuk Imamku.

Guruku bilang, kehidupan yang sekarang ini hanyalah fatamorgana, sesuatu yang tampak nyata akan tetapi sebenarnya tidak ada. Yang tampak ini hanyalah fakta yang kecil, adapun yang tersembunyi dibaliknya ada yang lebih besar, yaitu realita. Realita yang sebenarnya dicari oleh setiap orang. Realitas kenikmatan yang hakiki, realitas itu berupa surga.

Disitulah tempat kehidupan abadi, semua orang berubah menjadi muda tanpa harus menjadi tua, bidadari-bidadari cantik yang sumsumnya menembus kulit jika dipandang, kulitnya putih bersih melebihi putihnya susu terputih sekalipun, disana ada sungai madu, ada sungai arak, pohon-pohon berakar diatas, jadi kalau kita mau memetik buahnya tidak perlu memanjat. Semuanya tinggal kerentek, tinggal niat, maka apapun yang kamu inginkan pasti akan segera tersedia didepan mata.

Kalau mengingat ulang kata-kata guruku itu, aku pasti ingat dengan nasehat seorang biksu yang ada di film kera sakti, dia bilang, kosong adalah berisi, berisi adalah kosong, jadi semua itu kosong, kosong itu hampa.

***

Dari sekian kenikmatan surga yang ditawarkan oleh guruku, aku hanya tertarik tentang satu hal, yaitu bidadari. Karena sebelum aku masuk ketempat ini aku dulu dikenal sebagai seorang playboy yang suka memacari teman-teman kuliahku ataupun teman-teman perempuanku dari dunia maya, bahkan aku berkali-kali menzinahi mereka, dan menyemprotkan bibit-bibitku kerahim mereka. Entah berapa anak perempuan yang sudah aku reguk kegadisannya. Tapi, aku juga terkadang merasa heran, kenapa kok mereka tidak hamil juga ya?. Mereka juga tidak menuntut pertanggung jawabanku setelah beradu kelamin dengan mereka, karena pada saat mereka melakukan itu denganku, mereka rela dan itu merupakan bukti cinta terhadapku.

“Wah, harga keperawanan sekarang kok murah sekali ya?”, sering aku bergumam seperti itu saat aku tidak bersama mereka. Tinggal bilang “I love you, aku sayang kamu”, maka semuanya akan beres. Raba sana-sini, cium sana-sini, flirting, petting, oral, sampai adu kelamin, istilah keren yang beredar di teman-teman kuliahku adalah ML alias making love atau bersetubuh.

Dan kalau sudah bosan, aku tinggal bilang “kita putus ya, kita sudah nggak cocok lagi”. Dan para perempuanku pun menurut. Paling-paling hanya nangis dan mukul-mukul dadaku sembari bilang, “kamu tega ya, kamu jahat”. Mereka tidak akan lapor polisi karena aku tidak akan bisa dikenai pasal pidana, soalnya kami melakukannya suka sama suka, mereka juga tidak akan mungkin lapor ke orang tua karena mereka takut dihentikan uang sakunya atau mungkin akan terusir dari keluarga karena telah membawa aib, yakni berhubungan badan sebelum menikah.

Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Demikian kata pepatah, ini yang aku alami dikisah percintaanku yang terakhir sebelum pelarianku dari rumah kontrakanku, tempat dimana aku biasa beradu nafas terengah-engah memburu kenikmatan puncak dengan keluarnya bibit-bibit kehidupan.

Kisah asmaraku ini juga tidak lepas dari persetubuhan yang merupakan bukti kesetiaan cinta yang selalu didengung-dengungkan oleh teman kuliahku. Kali ini aku berpacaran dengan anak seorang kyai besar di kota lembah, namanya Shinta, anaknya berjilbab, paras wajahnya kalem, tutur katanya lembu serta cerdas, kebetulan dia kuliah dikampus sebelah, kampus yang punya embel-embel islam.

Pada saat aku mengungkapkan cintaku kepadanya, dia menolak. Dia bilang cinta itu tidak boleh dibagi, dia tidak punya bagian cinta untukku, karena cintanya hanya untuk Allah dan keluarganya semata. Dia menceramahiku bahwa pacaran itu haram.

Apa yang dia ungkapkan tentang peraturan Islam yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan ini, aku anggap bagai siraman rohani yang setiap pagi aku tonton di TV, yang merupakan tambahan pengetahuan saja untuk mendapatkan nilai A di mata kuliah keagamaan, jadi tidak pernah merasuk kedalam hati.

Hingga pada suatu ketika dia datang ketempatku, dia mau menjadi pacarku asalkan pacaran kami adalah pacaran islami, dia bilang bahwa tempo hari setelah aku ungkapkan cintaku kepadanya dia langsung curhat ke ustadzahnya perihal cintaku ini. Ustadzahnya ngomong kalau pacaran itu tidak apa-apa, asalkan pacaran yang islami.

Bagai menang lotere dua milyar, aku langsung berteriak kegirangan bahkan hampir pingsan, meskipun saat itu aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan pacaran yang islami. Aku si bengal Yoyo bisa jadi pacar si cantik shinta yang memakai jilbab itu. Anak kyai besar pula.

***

Hari-hari demi hari, aku dan shinta semakin lengket, bisa dibilang dimana ada Shinta pasti disitu ada Yoyo. Meskipun disana-sini banyak aku dengar bisikan-bisikan sinis yang memojokkan Shinta, aku berusaha untuk cuek dan semuanya itu aku anggap sebagai angin lalu saja.

Ada yang bilang, “Eh, shinta kok pacaran ya sekarang?”, Setiap ada pertanyaan seperti itu, dia pasti menjawab, “Pacaran kita islami kok, jadi nggak dilarang sama agama”. Aku yang tidak tahu dengan konsep pacaran islami yang dimaksud dengan Shinta, hanya manggut-manggut saja. Tak pernah dia menjelaskan apa yang dimaksud dengan pacaran islami itu. Akupun juga tidak mau tahu tentang konsepsi pacaran ini. Yang terpenting buatku hanyalah Shinta sekarang jadi pacarku.

Namun sikap cuekku ini lama-kelamaan membuatku bosan, apalagi Shinta tidak pernah mau aku genggam tangannya dan kalau aku sedang memboncengnya, dia tidak pernah pegangan punggungku laiknya sejoli yang sedang dimabuk asmara. Dia hanya pegangan bamper belakang sepeda motorku. “Hemm..jangan-jangan ini ya yang dimaksud dengan pacaran Islami?” tanyaku dalam benak.

***

Seperti biasa, setiap malam minggu aku pasti apel kerumah kos Shinta, malam itu dia mengajakku untuk ikut kegiatan majlis taklim yang diselenggarakan di Masjid jamik tengah kota tempat aku kuliah. Ya aku pikir ini bagus untuk menambah pengetahuan agamaku biar dapat nilai A+ mata kuliah agama. Bisa kusebut sebagai nutrisi tambahan sajalah disamping apa yang aku dapat dengan nonton pengajian di TV waktu pagi hari.

Sesampai di tempat majlis taklim yang kami tuju, Shinta agak kaget, ternyata tidak ada orang sama sekali disana. Ternyata, pengajian itu ditunda besok malam. Hatiku senang bukan kepalang. Serasa bebas karena nutrisi tambahan ceramah agama yang sering membuat aku terkantuk-kantuk ini dibatalkan.

Malam itu langsung aku ajak Shinta pulang ke rumah kontrakanku. Tanpa aku nyana, sepanjang perjalanan pulang, Shinta mau memegang pinggangku. Aku hanya membisu tak bisa berujar walau sekejap.

Setelah melewati setengah jam penuh kebisuan, aku baru berani bicara saat kami sampai didepan rumah kontrakan. “Sayang, turun dong, tolong kamu bukakan pagarnya”.

Aku intip dari balik jendela ternyata tidak ada seorangpun didalam rumah. Tetangga sebelah bilang kalau semua teman kontrakanku keluar untuk nonton konser group musik terkenal di republik ini.

Suasana ini membuatku berbuat berani dengan mengenggam tangan halus yang baru saja dirasakan oleh pinggangku. Ternyata Shinta tidak menolak. Dan lama kelamaan tangan yang telah menoda banyak gadis ini mampu menaklukkan Shinta, si gadis berjilbab puteri seorang kyai besar di kota lembah, lalu terjadilah pergumulan itu. Aku bayar pergumulan itu dengan tiga kata magis, “I LOVE YOU”.

Sesudah puncak dari harga cinta itu aku dapatkan, aku semakin menghindar untuk berkomunikasi dengan Shinta, dulu aku bertemu dengannya sehari bisa tiga kali atau bahkan menungguinya seharian, sekarang seminggu hanya bertatap dengannya sekali atau bahkan tidak pernah.

“Mungkin aku sudah bosan dengannya ya..”, kupikir inilah saatnya aku menemui dia lalu mengeluarkan jurus pamungkasku.

Kubilang, “kita putus ya, kita sudah tidak cocok lagi”, plakk!, satu tamparan mendarat dipipi kananku. “Yo, aku sudah ceritain semuanya pada abah..”, “Kemarin, abah mau menjodohkanku dengan Gus Zami, dia putera sahabat karib abahku waktu dipondok, tapi aku tolak Yo, karena aku sayang banget sama kamu”. “Dan abah mau kita segera menikah, karena beliau ingin punya menantu anak kuliahan, biar bareng-bareng membangun pondok sama saudara-saudaraku yang lain, abah bilang pondok akan lebih bervariasi jika ada keluarga pengasuhnya yang lulusan perguruan tinggi, bukan pesantren salaf saja”. Jelasnya panjang lebar.

Bletak..! bagaikan disambar petir disiang bolong, aku gemetar, kepalaku pusing, wajahku memerah atau bahkan membiru tanda takut. Setengah tidak percaya aku bilang, “ii ii yaa..”

Siang itu aku langsung berkemas untuk pergi meninggalkan rumah kontrakanku, aku tidak mau menikah dengan anak kyai itu. “Aku tidak pantas menjadi orang seperti yang dibilang shinta, bangun pesatren lah, mengaji lah, aku tahu ilmu agama hanya untuk dapat nilai A kok, setelah itu pasti aku lupa semuanya, atau mungkin berusaha aku lupakan”. Gerutuku sambil bersiap meninggalkan rumah kontrakanku, saksi bisu atas semua pergumulanku.

Orang tuaku tidak tahu tentang semua hal yang aku lakukan disini, yang mereka tahu hanyalah bagaimana cara mendapatkan uang dan kapan harus mengirimkannya ke-aku, Yoyo, sang penakluk perempuan.

Sesudah kejadian itu, aku terpaksa menyembunyikan identitasku karena ternyata ayah si Shinta bukan hanya seorang kyai besar di kota lembah, dia dikenal juga oleh kyai-kyai yang lain di seantero republik ini, demi menemukanku, kyai-kyai tersebut berani mengerahkan santri-santri kesayangan mereka yang katanya kemampuannya melampui intelijen republik.

Aku selalu lolos dari pengejaran santri-santri suruhan kyai ini, karena aku sering sekali berganti nama, bahkan berganti-ganti wajah.

Sekian lama aku berlari, lama kelamaan aku merasa bosan, hingga suatu ketika aku bertemu orang yang bergamis putih, wajahnya bertanda hitam dijidat dan bercelana dibawah lutut.

Dia langsung tanya kepadaku, “Anda yoyo bukan?”, aku kaget sekali waktu dia tahu namaku, tapi aku berusaha netral saja, tidak seperti biasanya, seakan disihir, aku langsung mengakui bahwa itu adalah namaku. “Iya, itu nama saya”, “Oh..bertobatlah saudara, mari ikut saya, saya tidak akan menyakiti anda”. “Anda bukan suruhan dari kyai kota lembah bukan?”, tanyaku menyelidik.

“Saya kenal dengan beliau, tapi beliau tidak sepandangan dengan saya”.

“Maksud anda tidak sepandangan bagaimana?”

“Ya, pandangan kami tentang konsepsi Islam sangat berbeda, jadi dia adalah saingan saya dalam berdakwah”.

Aku bingung dengan perkataan orang ini, atau mungkin tidak paham sama sekali. Walaupun begitu, aku mau mengikuti dia, setelah mendengar kata “saingan”.

“Oh iya, perkenalkan nama saya Ikrim”. Orang itu mengulurkan tangannya untuk menjabat, hangat sekali jabatan tangannya. Hatiku serasa damai.

Aku diajak ketempat orang itu, disana banyak orang yang berlatih perang, sambil meneriakkan slogan-slogan anti barat disertai dengan teriakan menyebut nama-nama Allah.

“Inilah tempat kami menggembleng para mujahid-mujahid, orang-orang yang mau berkorban harta, waktu, bahkan nyawa hanya untuk mencari ridho-Nya”.

Inilah awal jutaan ukiran kenanganku, dengan berganti nama Ibnu juhad, aku bagai menemukan keluarga, teman, dan pemahaman tentang Islam yang aku rindukan.

Disini, aku harus mau digembleng fisikku siang hari dan malamnya aku harus mengikuti majlis taklim mereka, majlis taklim ini berbeda dengan majlis-majlis yang aku ketahui sebelumnya, karena setiap kalimat selesai diucapkan oleh sang Imam. Jamaah taklim pasti meneriakkan nama-nama Allah. Tapi hal inilah yang membuat aku tertarik dengan orang-orang disini. Merekaloyal sekali terhadap Imam serta sangat anti terhadap barat. Apapun perintah sang Imam pasti mereka lakukan. Jangankan sekedar mengambil mainan anak sang Imam di septic tank. Mengantar nyawa pun tidak akan masalah.

Semua itu demi untuk mendapat realita yang hakiki, yaitu surga dengan segala gambaran kenikmatannya. Akupun juga begitu, aku harus membeli kavlingan surgaku yang salah satunya dengan menyetor uang saku dari ortuku untuk Imamku. Aku sendiri tidak pernah mempertanyakan kemana perginya uang itu, dan untuk apa uang tersebut.

Ikrim yang sekarang jadi guruku itu bilang, “Ikhlaskanlah semua, kamu pasti dapat balasannya nanti, yaitu kebahagiaan hakiki”. Kalau sudah begitu, aku pasti tidak bisa berkata apa-apa, hanya diam, berdo’a dan bersyukur.

Suatu malam guruku memanggilku. “Saudaraku, kamu dipanggil Imam”,

“Ada apa guru?”

“Mungkin sudah saatnya kamu jadi pengantin”.

“Wah, benar ni guru? Jadi sebentar lagi aku menemui bidadariku untuk bersanding dipelaminan surga ya?”

“Iya”, jawab guruku singkat.

Menjadi pengantin adalah sarana bagi setiap orang disini untuk mengambil kavlingan surganya, menjadi pengantin harus merelakan nyawa terpisah dari jasad dengan cara bunuh diri. Yaitu meledakkan diri di arena-arena perjuangan, tempat dimana bangunan yang menampung kepentingan-kepentingan negara-negara barat berdiri.

Malam itu sang Imam memberikan ceramah yang agak lengkap tentang kenikmatan surga, sebuah realita hakiki yang akan aku dapat sebagai balasan atas ketaatanku tanpa syarat kepada Imamku. Malam itu aku tidak tidur, karena gambaran tentang surga sedang menari-nari didalam pikiranku.

Setelah sholat subuh digelarlah ritual pelepasan pengantin, ternyata yang jadi pengantin hari itu bukan hanya aku, tapi masih ada satu lagi orang setengah baya yang mengenakan rompi bom sepertiku. Setelah acara ini selesai, semua orang bersalaman denganku dan memelukku mengucapkan kata selamat.

Dengan bangga hati aku melangkah keluar dari tempat penggemblengan ini. “Bismillah”, ucapku dalam batin.

Setelah agak lama, sampailah aku diarena perjuanganku, setelah menyamar sedemikian rupa, orang setengah baya yang menjadi pengantin hari itu langsung meledakkan bom yang dirancang jadi rompi. Blarr! Tubuhnya hancur berkeping-keping. Seketika itu juga kerumumunan manusia berambut pirang yang ada disekitarnya berdarah-darah, tangannya copot, kepalanya hilang, kakinya tinggal satu. Lalu terdengarlah berbagai macam raungan.

Melihat keadaan itu, hatiku mengecil, aku takut, aku takut mati. Akhirnya aku lari, dan lari. Sampai aku ditangkap oleh intelelijen republik yang mau menuju lokasi kejadian perkara, rompi bomku dijinakkan, aku dilempar di ubin dingin penjara, aku dihajar, otakku dicuci, aku diinterogasi, dan aku mengakui semuanya, termasuk dimana tempat penggemblengan para pengantin.

Dalam gelapnya ruangan berjeruji besi, kudengar kyai dari kota lembah yang menjengukku bersama Shinta berbisik kepada kepala intelijen republik, “Tempat Imam itu sudah hangus merata”.


Malang, 25 Nopember 2009.

* Pegiat sastra di Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Maliki Malang.

Selasa, 24 November 2009

cerpen "keributan dini hari"

Cess…malam ini dingin sekali, aku terjaga dari tidurku, kulihat jam dinding di masjid menunjukkan pukul dua dini hari, dengan sedikit agak malas kulangkahkan kedua kakiku kekamar mandi, kuambil air wudhu. Brrr…dingin nian air malam ini, kulihat kabut tebal mengiringi kanan kiri asramaku.

Dari utara asrama terlihat samar-samar sorot lampu sepeda motor, oh..Zamhari rupanya, dia adalah temanku yang dua bulan lalu keluar dari pondok ini. Ternyata dia tidak sendirian, di belakangnya duduk dua orang lagi, Santo dan Asro. Setelah menurunkan dua "penumpangnya" Zamhari langsung memutar sepeda motornya kemudian berlalu begitu saja.

Memang seperti inilah keadaan asrama yang khusus disediakan untuk santri yang masih sekolah SMA di pondokku ini. Disekelilingnya tidak ada satupun pagar pembatas seperti asrama dipondok lain sehingga setiap orang dapat dengan bebas keluar masuk lokasi asrama, entah itu santri pondokku atau bukan.

Indera penglihatanku tetap menatap mereka berdua, dari balik kordin jendela kamarku kulihat mereka berdua sempoyongan. Mereka merebahkan badan di emperan gubuk yang berada di belakang ndalem. Yang dihuni oleh Kang Tadlo, salah satu ustadzku yang abdi di ndalem Sang Kyai. "Masya Allah pasti malam ini mereka teler lagi!" Gumamku dalam hati, tak lama kemudian terdengar suara keras yang sama sekali tak pantas didengar oleh siapapun. " Dancok!matamu! Mang kamu siapa berani menasehati aku?Kulihat ternyata Asro mabuk berat malam ini, "Sro…jangan misuh-misuh kamu!, ini dibelakang ndalem, nanti malah tertangkap kita!", kata Santo memperingatkan Asro.

"Biar! Memang apa urusan kamu!"

"Sro..kamu itu mabuk, ayo pindah dari sini sebelum Kang Tadlo terbangun!"

Ternyata Santo masih punya sedikit kesadaran untuk berusaha menyembunyikan apa yang telah mereka lakukan.

Jratt..satu kepalan tangan Asro mendarat di alis kiri Santo, darah segar keluar. Santo yang tidak terima dengan apa yang dilakukan Asro langsung balas menonjok muka Asro, akhirnya malam ini terjadilah perkelahian hebat didepan asrama belakang ndalem.

Aku berlari ketempat kendali listrik utama, kunyalakan semua lampu yang ada di asramaku dengan harapan semua penghuni asramaku ini terbangun, kupikir aku takkan sanggup menghentikan pergumulan mereka jika aku sendirian. Semua terbangun untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Si Arif yang masih merupakan kerabat Santo mencoba untuk melerai mereka, namun tidak berhasil, kemudian datang Rohim dan teman-temannya mencoba menghentikan apa yang terjadi, untuk sementara perkelahian mereka terhenti. Terlihat darah mengucur deras dari alis kiri Santo.

Pintu ndalem bagian belakang terbuka, Sang Kyai yang masih mengenakan kaos oblong putih keluar untuk melihat apa yang terjadi. "Ada apa kang? Kok rebut-ribut?", Tanya Sang Kyai, semua wajah tertunduk. Pandangan mata Sang Kyai tertuju ke arah Asro yang terkapar-kapar ditanah, Sang Kyai merunduk mencium bau nafas Asro, "Hemm….bau alkohol ini, kamu mabuk lagi ya? Sama siapa kang kamu mabuk?", Tanya Sang Kyai kepada Asro. Bukannya menjawab tetapi Asro malah meludahi wajah Sang Kyai. Sang Kyai sama sekali tidak marah, beliau malah mengalihkan pertanyaannya kepada santrinya yang berkumpul disitu.

"Kang, kamu semua tahu apa tidak? Anak ini mabuk dengan siapa?" Semua mata memandang ke arah Santo.

“ sudah kang sekarang bawa dua anak ini kekamar mandi, suruh wudhu biar cepat sadar," kata Sang Kyai kepada para santrinya yang berkumpul disitu. Asro dituntun temannya untuk pergi kekamar mandi, sedangkan Santo tidak mau dituntun karena dia masih merasa kuat untuk berjalan sendiri.

Plak! Disitu bukannya wudhu akan tetapi Asro malah menampar wajah Santo, Santo berusaha untuk tidak membalas karena dia tahu kalau Asro terlalu mabuk malam ini, sehingga mungkin saja dia tidak sadar dengan apa yang dia lakukan, Santo berusaha cuek, dia teruskan mengambil air wudhu.

Hal yang tidak terduga terjadi, Asro membenturkan kepala Santo kepucuk kran, dari kepalanya terlihat cairan merah itu keluar lagi, Santo yang tidak terima diperlakukan seperti itu langsung mencekik leher Asro. Teman-temannya pun berhamburan ke arah mereka untuk mencegah perkelahian ini lebih jauh.

Asro yang tidak mampu lagi untuk berdiri digiring kekantor pondok untuk diamankan, sedangkan Santo sendiri dibawa kebilik kecil bawah tangga lantai dua. Didalam bilik itu terdapat Pak Yahya yang sedang tidur pulas karena baru seharian beliau bepergian untuk mengobati orang yang terkena guna-guna di kabupaten sebelah, memang Pak Yahya ini mempunyai kemampuan berbeda dibandingkan dengan ustadz-ustadzku yang lain, hanya beliaulah yang menguasai ilmu perdukunan di pondokku ini.

"Bagaimana tho kamu ini! Tidak tahu apa? Lha santrinya geger kamu malah enak-enakan tidur disini!" Dawuh Sang Kyai yang memang saat itu sedang marah. Pak Yahya kaget dan terbangun dari tidurnya, beliau kebingungan karena tiba-tiba saja Sang Kyai masuk kebiliknya dengan muka merah padam, Pak Yahya hanya menunduk tidak berani memandang wajah Sang Kyai meski hanya sekilas, lalu datang Pak Nafi menggandeng Santo masuk kebilik kecil yang difungsikan untuk mengawasi kalau ada santri yang kabur lewat kebun tebu milik Pak Lurah yang ada dibelakang asrama.

"Coba sekarang kamu periksa semua santri yang ada di asrama ini, panggil semua pembina kamar! Lalu panggil juga Pak Rohman, Masak jam segini tidak patroli!" perintah Sang Kyai.

"Pembina kamar C1 siapa?" Tanya Sang Kyai ke Pak Yahya

"Kulo Kyai", jawab Pak Yahya dengan suara sedikit agak serak.

"Ya sudah sekarang cepat berangkat!"

***

Sambil duduk bersila Sang Kyai mengeluarkan rokok kretek filter kesuakaannya, " sudah kang, ini saya halalkan, sekarang merokoklah, sampeyan tidak saya larang lagi untuk merokok, itu lebih baik dari pada sampeyan minum barang najis yang jelas-jelas dilarang oleh agama". Santo hanya merunduk diam sambil memainkan kedua jempolan kakinya, dia takut mengambil gulungan tembakau yang dilarang keras untuk dihisap di pondokku ini. Dia masih punya rasa hormat untuk tidak merokok di depan Kyainya.

"Sudahlah kang, sampeyan tidak usah malu, ayo cepat ambil!"

Dengan agak malu-malu akhirnya Santo mau mencomot sebatang rokok kemudian menyulutnya. Diselingi dengan kepulan asap tembakau yang dia hisap, Santo diinterogasi langsung oleh Sang Kyai. Santo mengakui semua apa yang dilakukannya, dia juga menyatakan bahwa kebiasaannya itu memang dia bawa dari rumah.

***

Keesokan harinya Asro baru tersadar, Pak Nafi yang dari tadi malam menungguinya langsung menanyakan tentang apa yang sebenarnya telah terjadi, Asro tidak ingat apa-apa, tapi setelah Pak Nafi menerangkan kejadian semalam dan sedikit mendesak Asro, akhirnya Asro mengakui semua perbuatannya, tidak hanya arak yang dia minum akan tetapi juga berbagai macam pil yang dapat membuat orang sejenak lupa akan dunia dia konsumsi. Pil anjing, pil koplo, pil grasak, lexothan, ekstasi sampai ineks dan berbagai macam lainnya dia sebutkan dengan lancar.

Kemudian dia sebutkan siapa saja santri di pondokku ini yang pernah mabuk dengannya. Ternyata tidak hanya satu atau dua saja yang mengkonsumsi pil terkutuk itu, tak kurang dari lima belas orang dia sebutkan! Bahkan bukan tidak mungkin lebih dari itu. "Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un" Pak Nafi hanya mengernyitkan dahi plus menggeleng-gelengkan kepala setelah tahu bahwa virus narkoba itu sudah sedemikian luas. Beliau tak habis pikir kenapa pondok yang sejak awal berdirinya lebih memprioritaskan pendidikan akhlak ini terdapat borok besar yang telah lama tidak tercium, beliau heran kemana perginya pendidikan akhlak yang selama ini diajarkan.

Pak Nafi tidak begitu saja percaya dengan perkataan Asro, Beliau khawatir kalau kesadaran Asro belum pulih seratus persen sehingga dia mengatakan sesuatu yang sangat mungkin tidak benar.

Untuk membuktikan itu semua Pak Nafi langsung sowan kepada Sang Kyai terkait penemuan barunya, Sang Kyai meminta Pak Nafi untuk mengumpulkan santri-santri kepercayaan Sang Kyai. Sang Kyai akan mengecek kebenaran data tentang nama-nama santri pemakai narkoba yang diperoleh Pak Nafi.

***

Pada sore hari yang murung, semurung wajah para ustadzku, semuanya menjadi jelas bahwa hal tersebut memang nyata terjadi. Bashor yang cerdik, Misbah yang pendiam, Arfi yang jago sepak bola, Bahri cucu seorang 'ulama besar yang merupakan guru pertama pendiri pondok pesantrenku ini, Hakim sang maestro sepak takraw yang menjadi andalan kabupatenku disetiap ada kejuaraan, Durori yang penurut, sampai aziz yang notabene masih seumur jagung mukim di pesantren ini dan masih banyak lagi yang telah menjadi pengguna sejak lama. Bahkan Asro sendiri telah menjadi budak pil setan itu sejak dia masih duduk di bangku SMP, dia juga mengatakan kalau tidak mengkonsumsi dua hari saja, badan terasa sakit semua bagai disiksa, dan gairah untuk bergerak seakan telah hilang.

Mendengar semua itu, Sang Kyai tak tahan lagi membendung air matanya, titik-titik bening nan suci menetes satu persatu dari mata beliau. Beliau menyuruh Kang Izam untuk mengambil gelas di kantin, Sang Kyai ingin minum. Sesaat kemudian Kang Izam datang dan menyodorkan gelas kepada Sang Kyai dengan penuh rasa tawadlu. Setelah meneguk dua gelas air putih, Sang Kyai berpesan kepada para santrinya.

"Ya beginilah kang, akibat salah pergaulan, sejak dulu saya sudah pesan kepada sampeyan semua dan teman-teman kalian itu agar kalau memilih teman yang hati-hati, kalau sudah begini sulit sekali penyembuhannya. Kalau sampeyan semua sejak dulu sudah melapor kepengurus pondok, kejadiannya mungkin tidak akan separah ini". Sang Kyai diam sejenak untuk menghela nafas. Tak ada suara sedikitpun yang terdengar, bergeser tempat duduk pun tak berani mereka lakukan, semua mata tertunduk memandang ke lantai dan mendengarkan apa yang di nasehatkan Sang Kyai dengan rasa ta'dhim yang mendalam.

Kang, sekarang kalau sampeyan kebetulan melihat kemunkaran yang terjadi di pesantren ini, jangan diam saja. Kalau sampeyan tidak berani mencegah atau menasehati teman yang berbuat demikian, langsung saja melapor ke pengurus pondok, tidak usah takut. Masak sampeyan takut dengan manusia tetapi tidak takut sama Yang Kuasa? Itu kan terbalik namanya! Nggak bener itu kang, ya sudah, sekarang biarkan yang telah berlalu, mari kita lakukan yang terbaik untuk selanjutnya!".

***

Kabar kasus terbesar yang pernah ada di pesantrenku ini pun langsung menyebar dari mulut ke mulut, esok harinya lagi para orang tua santri yang telah terlibat dalam kasus tersebut dipanggil satu per satu dan bagaimanapun juga semua santri yang terlibat mau tak mau harus dipulangkan, meskipun mayoritas dari mereka sowan ke Sang Kyai untuk meralat vonis yang telah dijatuhkan, tapi keputusan tetaplah keputusan dan peraturan tetaplah peraturan, tak ada kata maaf untuk sebuah pelanggaran yang berat di sebuah pesantren. Ironisnya, sebagian dari mereka telah sampai jenjang terakhir tahun kedua belas mereka belajar di pesantern ini itu berarti mereka hampir ujian akhir untuk menentukan kelulusan.

Kini terbongkar sudah jaringan narkoba yang telah lama tidak terendus ini, pihak yang berwajib pun merasa terbantu karena lewat peristiwa ini beberapa pengedar narkoba yang selama ini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dapat diciduk dengan mudah, bahkan dua orang Bandar gede yang telah lama didiincar oeh polisi dapat diringkus tanpa ada perlawanan.

Malang, 28 Mei 2009

*Mahasiswa fakultas humaniora dan budaya UIN MMI Malang

kader PMII Ibnu Aqil

counter idea atas idea terorisme

counter idea atas idea terorisme”

Beberapa hari ini pembicaraan disekitar kita sibuk mengangkat tema mengenai terorisme, dari sudut gang di perkampungan, setiap pojok warung kopi sampai ruang-ruang pusat perbelanjaan dan perkantoran sibuk membicarakan satu istilah, yaitu terorisme. Pemberitaan disemua media, baik media cetak maupun elektronik masih menjadikan terorisme dan perburuan tukang teror sebagai menu utama. Isu-isu tentang Pilpres (pilihan presiden) dengan berbagai macam keruwetannya seolah sudah terlupa oleh kita.

Sajian terorisme memang layak dikedepankan setelah pada jum’at 17 juli 2009 dua buah bom bunuh diri meledak di hotel JW Marrioott dan Ritz Carlto. Peristiwa tersebut tentu membuat publik negeri ini tentu tersentak setelah kurang lebih empat tahun rakyat Indonesia hidup tenang sepi dari teror. Pihak kepolisian pun juga langsung kalang kabut setelah mereka selama ini seolah menghentikan perburuan para pelaku teror atau teroris. Setelah melakukan pengolahan tempat kejadian perkara, uji laboratorium, serta melakukan penyidikan-penyidikan, akhirnya pihak kepolisian pun menyimpulkan bahwa dalang pelaku teror ini merupakan pemain lama yang mana wayangnya merupakan orang baru. Dan sel-sel jaringannya adalah baru, dan yang membentuk tetaplah sang dalang, buruan nomor wahid aparat kepolisian negeri ini, yakni Noordin M. Top.

Sesaat kita dibuat bersorak ketika datasemen 88 (satuan elit polisi pemburu teroris) melakukan pengepungan selama 18 jam tehadap rumah di temanggung yang mana diduga bahwa orang yang ada didalam rumah tersebut merupakan Noordin. Akan tetapi setelah diselidiki lebih teliti dugaan tersebut melemah, dan masyarakatpun dipaksa kembali was-was dan waspada.

Kita mungkin masih heran, kenapa bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang berpenduduk muslim terbesar didunia ini seakan tidak bisa terlepas dari teror, kita mungkin malu kenapa bangsa yang dikenal berpenduduk ramah, berbudaya besar, dan mempunyai potensi sebagai bangsa yang hebat ini harus berstigma bahwa bangsa kita merupakan sarang teroris.

Tentu kita meyakini bahwa kehidupan masyarakat sangat dinamis, dan dinamika setiap tindakan atau aksi masyarakat tersebut tidak terlepas dari pra-wacana (pre-discourse) atau konsep yang dibentuk dibelakang otak setiap individu-individu yang membentuk sebuah kelompok masyarakat. Begitu juga dengan kelompok masyarakat penyebar atau pelaku teror.

Sebelum mereka melakukan aksi, mereka telah di berikan berbagai macam pre-discouse yang mengatakan bahwa tindakan mereka merupakan jihad fii sabilillah, li’I’laai kaliimatillah (meluhurkan ayat-ayat Allah) dan apabila meninggal maka otomatis akan masuk surga. Iming-iming yang merupakan tujuan akhir setiap manusia beriman tersebut tampaknya mampu menjadi daya tarik setiap individu dari kelompok masyarakat yang kita anggap sebagai teroris, hal ini diperkuat dengan kemampuan pemimpin kelompok tersebut yang mampu meracik kata-kata bersifat persuasif sehingga mereka setiap saat individu tersebut mau dipanggil untuk menjadi martir atau sebagai “pengantin” yang melakukan bom bunuh diri.

Dewasa ini masyarakat kita mungkin kurang paham atau bahkan acuh tak acuh dengan berbagai macam ideologi yang mulai menyeruak masuk kedalam setiap sendi dan pori kehidupan bangsa. Kesadaran untuk meneliti dan berhati-hati dalam memilih setiap produk pemikiran yang menjadi pre-discourse mereka dalam bertindak tergerus oleh arus modernisasi yang menutut masyarakat untuk selalu mempertimbangkan aspek materi. Namun disisi lain, modernisasi juga membuat masyarakat bingung untuk memilih konsep mana yang tepat bagi mereka dalam menjalankan proses tindakan serta aksi, terutama dalam aspek pemenuhan kebutuhan rohani atau proses keber-agama-an mereka yang gersang.

Ditengah kondisi masyarakat yang terombang-ambing seperti buih ditengah lautan serta dinamika sosial yang sering tidak menentu arahnya, permainan simbol merupakan sebuah keharusan bagi setiap pemilik konsep yang ingin menguasai sebuah kelompok masyarakat kecil seperti desa atau bahkan kelompok masyarakat yang besar seperti Negara. Maka, bisa diprediksi bahwa pemilik konsep yang pandai untuk mempercantik sebuah simbol maka ditangan dia-lah masyarakat akan dikendalikan. Bagi kita tidak akan masalah apabila konsep yang ada dibelakang simbol tersebut membawa keseimbangan serta ketenangan dalam hidup, akan tetapi akan menjadi masalah jika pengikut dari konsep tersebut membawa kekacauan bahkan teror bagi kita. Tentunya meskipun sedikit, namun setiap pengikut konsep yang kedua ini eksis dalam masyarakat, tentunya kita akan kelimpungan menghadapinya. Terlebih jika pengikut mereka semakin besar maka semakin kacaulah segala ranah kehidupan ini.

Setiap ada idea (ide), pastilah disitu ada yang namanya counter idea (lawan dari ide), dalam hal ini, anggaplah idea tersebut merupakan ide yang menjadi akar setiap teror yang melanda negeri ini, dan counter idea merupakan ide yang kita miliki. Maka kita harus memperkuat counter idea ini dan benar-benar memainkannya sebagai senjata kita. Jangan sampai sedikitpun terbersit sedikitpun keraguan didalam benak kita untuk menggunakannya.

Counter idea yang pantas untuk melawan idea ini adalah catur ide yang terdiri dari: pertama, konsep Tawassuth yang berarti moderat, penengah. Bagaimana kita membentuk pre-discourse setiap individu masyrakat untuk selalu tampil moderat dalam upaya untuk menjawab tantangan yang dihadapi kelompok masyarakatnya dan sebagai bentuk semangat ukhuwah atau persatuan dan kesatuan.

Kedua, konsep tawazzun yang berarti penyeimbang, sebuah prinsip yang kuat dalam membawa masyarakat kita untuk berjalan membuat sebuah dinamika positif tanpa intervensi dari kekuatan manapun, baik itu dari barat ataupun dari timur, dari dalam ataupun dari luar negeri, konsep ini bisa membentuk masyarkat yang berkarakter dan beridentitas atas dirinya sendiri berpijak pada nilai-nilai luhur yang dimiliki dan diwariskan oleh nenek moyang kita sehingga menjadi bangsa yang mandiri, konsep ini juga merupakan sebuah pola pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan).

Ketiga, tasammuh yang berarti toleransi, sebuah prinsip yang menuntun masyarakat kita untuk selalu berada dalam titik fleksibelitas dalam menerima segala perbedaan, hal ini bisa menyadarkan kita bahwa perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang dimiliki oleh setiap bangsa, ketika kesadaran ini terbangun maka akan terbentuklah sikap terbuka dan toleran. Akan tetapi toleransi ini harus tidak mengesampingkan proses filterisasi atas hal-hal yang berbeda dari bangsa kita yang mampu mereduksi bahkan menghilangkan karakter asli bangsa kita. Konsep ketiga ini diilhami dengan makna ayat Alqur’an yang berbunyi “lakum dinukum waliyadin” yang berarti “bagimu agamamu dan bagiku agamaku serta ayat yang berbunyi “walana a’maluna walakum a’malukum” yang artinya kurang lebih “bagi kita (manfaat) amal kita, dan bagi kamu sekalian (akibat) amal kalian” sehingga konsep ini bisa menjadi pre-discourse bagi masyarakat kita yang membebaskan, dan melepaskan dari sifat egoistik dan sentimentil pribadi ataupun bersama.

Serta yang keempat adalah I’tidal yang berarti keadilan, adalah konsep tentang adanya proporsionalitas. Jadi semua elemen yang ada didalam bangsa ini harus mau mendasarkan aksinya atas keadilan.

Apabila empat prinsip ini mampu kita jalankan niscaya sikap, tindakan, serta perilaku kita dan masyarakat kita akan jauh mengarah kepada hal-hal yang bisa menyebabkan kekacauan secara abstrak maupun teror secara fisik. Dalam upaya penerapan empat prinsip ini dalam masyrakat kita, jangan lupa untuk berani dan bisa memainkan simbol yang mampu menarik masyarakat sehingga dengan cepat dapat terinternalilasi dalam jiwa.

Selain usaha akan penerapan atas counter ide yang berisi empat poin diatas pemerintah diharapkan berani untuk mencegah atau bahkan melarang hal-hal yang condong kepada usaha penghilangan atas eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) apalagi ide ataupun usaha yang jelas mengarah ke hal-hal tersebut, seperti ide tentang pendirian Negara Islam, aksi premanisme atas nama agama sehingga sel-sel terorisme tidak bisa lagi terbentuk karena akarnya sudah tercerabut dari tanahnya. Wallahu a’lam.

Senin, 23 Maret 2009

pUisi Mekar tenang

MEKAR TENANG

Berjalan dengan tembakan hujan,

Berbasah dalam air hidup

Walau semarak itu tak terluap

Merekah ditengah kuyup.


Melihat bermimpi berayun,

Membuat jiwaku kosong

Menatap lekat pada satu titik sudut

Yang tidak mempunyai kolong.


Telah lama aku bersandar pada

Ayunan gendongan yang terlena,

Yang mengizinkan aku terjerembab

Pada dalamnya nista.


Aku berkata pada Tuhanku,

“Sudahlah, izinkan aku untuk ini”,

Tapi ragam mulut tak mau membeku,

Berebut memuntah-muntahkan komentar isi benak.


Sudahlah, biarkan aku tertinggal,

Disudut yang dekat dengan kematian.

Tenang,

Bisa mekar walau tanpa ada pandang

...........

Dalam sebuah sudut damai.


Malang, 02 Maret 2009