Selasa, 24 November 2009

counter idea atas idea terorisme

counter idea atas idea terorisme”

Beberapa hari ini pembicaraan disekitar kita sibuk mengangkat tema mengenai terorisme, dari sudut gang di perkampungan, setiap pojok warung kopi sampai ruang-ruang pusat perbelanjaan dan perkantoran sibuk membicarakan satu istilah, yaitu terorisme. Pemberitaan disemua media, baik media cetak maupun elektronik masih menjadikan terorisme dan perburuan tukang teror sebagai menu utama. Isu-isu tentang Pilpres (pilihan presiden) dengan berbagai macam keruwetannya seolah sudah terlupa oleh kita.

Sajian terorisme memang layak dikedepankan setelah pada jum’at 17 juli 2009 dua buah bom bunuh diri meledak di hotel JW Marrioott dan Ritz Carlto. Peristiwa tersebut tentu membuat publik negeri ini tentu tersentak setelah kurang lebih empat tahun rakyat Indonesia hidup tenang sepi dari teror. Pihak kepolisian pun juga langsung kalang kabut setelah mereka selama ini seolah menghentikan perburuan para pelaku teror atau teroris. Setelah melakukan pengolahan tempat kejadian perkara, uji laboratorium, serta melakukan penyidikan-penyidikan, akhirnya pihak kepolisian pun menyimpulkan bahwa dalang pelaku teror ini merupakan pemain lama yang mana wayangnya merupakan orang baru. Dan sel-sel jaringannya adalah baru, dan yang membentuk tetaplah sang dalang, buruan nomor wahid aparat kepolisian negeri ini, yakni Noordin M. Top.

Sesaat kita dibuat bersorak ketika datasemen 88 (satuan elit polisi pemburu teroris) melakukan pengepungan selama 18 jam tehadap rumah di temanggung yang mana diduga bahwa orang yang ada didalam rumah tersebut merupakan Noordin. Akan tetapi setelah diselidiki lebih teliti dugaan tersebut melemah, dan masyarakatpun dipaksa kembali was-was dan waspada.

Kita mungkin masih heran, kenapa bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang berpenduduk muslim terbesar didunia ini seakan tidak bisa terlepas dari teror, kita mungkin malu kenapa bangsa yang dikenal berpenduduk ramah, berbudaya besar, dan mempunyai potensi sebagai bangsa yang hebat ini harus berstigma bahwa bangsa kita merupakan sarang teroris.

Tentu kita meyakini bahwa kehidupan masyarakat sangat dinamis, dan dinamika setiap tindakan atau aksi masyarakat tersebut tidak terlepas dari pra-wacana (pre-discourse) atau konsep yang dibentuk dibelakang otak setiap individu-individu yang membentuk sebuah kelompok masyarakat. Begitu juga dengan kelompok masyarakat penyebar atau pelaku teror.

Sebelum mereka melakukan aksi, mereka telah di berikan berbagai macam pre-discouse yang mengatakan bahwa tindakan mereka merupakan jihad fii sabilillah, li’I’laai kaliimatillah (meluhurkan ayat-ayat Allah) dan apabila meninggal maka otomatis akan masuk surga. Iming-iming yang merupakan tujuan akhir setiap manusia beriman tersebut tampaknya mampu menjadi daya tarik setiap individu dari kelompok masyarakat yang kita anggap sebagai teroris, hal ini diperkuat dengan kemampuan pemimpin kelompok tersebut yang mampu meracik kata-kata bersifat persuasif sehingga mereka setiap saat individu tersebut mau dipanggil untuk menjadi martir atau sebagai “pengantin” yang melakukan bom bunuh diri.

Dewasa ini masyarakat kita mungkin kurang paham atau bahkan acuh tak acuh dengan berbagai macam ideologi yang mulai menyeruak masuk kedalam setiap sendi dan pori kehidupan bangsa. Kesadaran untuk meneliti dan berhati-hati dalam memilih setiap produk pemikiran yang menjadi pre-discourse mereka dalam bertindak tergerus oleh arus modernisasi yang menutut masyarakat untuk selalu mempertimbangkan aspek materi. Namun disisi lain, modernisasi juga membuat masyarakat bingung untuk memilih konsep mana yang tepat bagi mereka dalam menjalankan proses tindakan serta aksi, terutama dalam aspek pemenuhan kebutuhan rohani atau proses keber-agama-an mereka yang gersang.

Ditengah kondisi masyarakat yang terombang-ambing seperti buih ditengah lautan serta dinamika sosial yang sering tidak menentu arahnya, permainan simbol merupakan sebuah keharusan bagi setiap pemilik konsep yang ingin menguasai sebuah kelompok masyarakat kecil seperti desa atau bahkan kelompok masyarakat yang besar seperti Negara. Maka, bisa diprediksi bahwa pemilik konsep yang pandai untuk mempercantik sebuah simbol maka ditangan dia-lah masyarakat akan dikendalikan. Bagi kita tidak akan masalah apabila konsep yang ada dibelakang simbol tersebut membawa keseimbangan serta ketenangan dalam hidup, akan tetapi akan menjadi masalah jika pengikut dari konsep tersebut membawa kekacauan bahkan teror bagi kita. Tentunya meskipun sedikit, namun setiap pengikut konsep yang kedua ini eksis dalam masyarakat, tentunya kita akan kelimpungan menghadapinya. Terlebih jika pengikut mereka semakin besar maka semakin kacaulah segala ranah kehidupan ini.

Setiap ada idea (ide), pastilah disitu ada yang namanya counter idea (lawan dari ide), dalam hal ini, anggaplah idea tersebut merupakan ide yang menjadi akar setiap teror yang melanda negeri ini, dan counter idea merupakan ide yang kita miliki. Maka kita harus memperkuat counter idea ini dan benar-benar memainkannya sebagai senjata kita. Jangan sampai sedikitpun terbersit sedikitpun keraguan didalam benak kita untuk menggunakannya.

Counter idea yang pantas untuk melawan idea ini adalah catur ide yang terdiri dari: pertama, konsep Tawassuth yang berarti moderat, penengah. Bagaimana kita membentuk pre-discourse setiap individu masyrakat untuk selalu tampil moderat dalam upaya untuk menjawab tantangan yang dihadapi kelompok masyarakatnya dan sebagai bentuk semangat ukhuwah atau persatuan dan kesatuan.

Kedua, konsep tawazzun yang berarti penyeimbang, sebuah prinsip yang kuat dalam membawa masyarakat kita untuk berjalan membuat sebuah dinamika positif tanpa intervensi dari kekuatan manapun, baik itu dari barat ataupun dari timur, dari dalam ataupun dari luar negeri, konsep ini bisa membentuk masyarkat yang berkarakter dan beridentitas atas dirinya sendiri berpijak pada nilai-nilai luhur yang dimiliki dan diwariskan oleh nenek moyang kita sehingga menjadi bangsa yang mandiri, konsep ini juga merupakan sebuah pola pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan).

Ketiga, tasammuh yang berarti toleransi, sebuah prinsip yang menuntun masyarakat kita untuk selalu berada dalam titik fleksibelitas dalam menerima segala perbedaan, hal ini bisa menyadarkan kita bahwa perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang dimiliki oleh setiap bangsa, ketika kesadaran ini terbangun maka akan terbentuklah sikap terbuka dan toleran. Akan tetapi toleransi ini harus tidak mengesampingkan proses filterisasi atas hal-hal yang berbeda dari bangsa kita yang mampu mereduksi bahkan menghilangkan karakter asli bangsa kita. Konsep ketiga ini diilhami dengan makna ayat Alqur’an yang berbunyi “lakum dinukum waliyadin” yang berarti “bagimu agamamu dan bagiku agamaku serta ayat yang berbunyi “walana a’maluna walakum a’malukum” yang artinya kurang lebih “bagi kita (manfaat) amal kita, dan bagi kamu sekalian (akibat) amal kalian” sehingga konsep ini bisa menjadi pre-discourse bagi masyarakat kita yang membebaskan, dan melepaskan dari sifat egoistik dan sentimentil pribadi ataupun bersama.

Serta yang keempat adalah I’tidal yang berarti keadilan, adalah konsep tentang adanya proporsionalitas. Jadi semua elemen yang ada didalam bangsa ini harus mau mendasarkan aksinya atas keadilan.

Apabila empat prinsip ini mampu kita jalankan niscaya sikap, tindakan, serta perilaku kita dan masyarakat kita akan jauh mengarah kepada hal-hal yang bisa menyebabkan kekacauan secara abstrak maupun teror secara fisik. Dalam upaya penerapan empat prinsip ini dalam masyrakat kita, jangan lupa untuk berani dan bisa memainkan simbol yang mampu menarik masyarakat sehingga dengan cepat dapat terinternalilasi dalam jiwa.

Selain usaha akan penerapan atas counter ide yang berisi empat poin diatas pemerintah diharapkan berani untuk mencegah atau bahkan melarang hal-hal yang condong kepada usaha penghilangan atas eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) apalagi ide ataupun usaha yang jelas mengarah ke hal-hal tersebut, seperti ide tentang pendirian Negara Islam, aksi premanisme atas nama agama sehingga sel-sel terorisme tidak bisa lagi terbentuk karena akarnya sudah tercerabut dari tanahnya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: