Kamis, 11 Desember 2008

Mengapa?

Kenapa aku tidak pernah diizinkan

Menerima belaian lembut dan kasih saying nyata?
Dimana itu?
Dari orang-orang yang benar-benar kucinta?
Bukan!
Dari orang-orang yang benar-benar cinta aku?
Juga bukan!
Lalu dengan siapa?
Ingin kutenggelamkan jiwaku dalam nanah busuk
Penghias wail!
Tapi aku pasti tak mampu!
Ingin kuterbang merantau kegerbang harum firdaus!
Tapi kakiku pincang!
Bahkan sekarang kedua kakiku tak ada!
Aku lemas……
Sekarang aku hanya bisa menangis…
Menggubah lagu-lagu kematian
Yang tak menentu maknanya?
Semuanya hitam!
Semuanya pedih dan panas!
Oooi, cobalah teriak!
Jawab dengan jujur!
Kemana perginya hati nuraniku?
Kemana?
Cih!
Memang benar,
Aku sekarang menjadi bangkai,
Berkarya satupun tak bisa!
Tapi orang-orang menganggapku hebat!
Siapa yang peduli denganku?
Siapa yang memahami aku?
Oooi, coba semprotkan suaramu
Pada dua telingaku yang mulai dungu ini!
Orang yang terlalu menggebu bisa menggapai,
Tapi ternyata aku masih terlalu ragu, rapuh, dan cacat!
Ingin aku meniggalkan panggung kemunafikan ini,
Tapi hutangku pada-Nya
Dan…
Hutangku pada makhluk-Nya, membuatku takut!
Tolonglah aku……..
Malang, 23 November 2008

puisi tunjukkanlah rasa (mu)

TUNJUKKANLAH RASA (Mu)
Berprasangka pada rasa,
Bermain dengan tumpuan cinta,
Bergelayut sama getaran jiwa,
Bergantung pada guncangan abstrak.

Menjebak diri pada lubang perut zaman
Tertelan, termuntah, dan tenggelam,

Kenapa harus berbohong pada diri?
Berkali menipu pada pribadi?

Jikalau mawar tidak lagi merah
Melati tidak mau lagi memutih,
Bunga matahari hanya bisa tercungkup,

Beranilah mendepak, menangis,
Bergegaslah lari
Sembari acung-acungkan
Tangan kirimu.

Saatnya berkata-kata dengan nada deklarasi:

"Inilah diriku!!"
"Saksikanlah!!".
Malang, 1 Desember 2008

puisi angin kehidupan

ANGIN KEHIDUPAN

Kutelangkupkan kedua daun telingaku
Bersumbat pada jempolan dan kelingking
Lalu berdarah…….

Bergelantung pada cuping,
Sisa-sisa belatung penyiksaan
Tidak kuat mungkin….

Terdiam, tertahan,
Tidak pernah serak dan retak

Tidak bergelugu dan utuh
Tidak berbentuk……

Hanya tiupan-tiupan,
Yang mulai tenang
Mati…..

Malang, 23 November 2008

puisi alat vital

ALAT VITAL
Hanya kemudian menjadi alat vital
Dengan mulut bagai corong,
Digembor-gemborkan;

Hoi….!
"Alat vitalku besar!
Peganglah, akan terasa hangat!".

Orang-orang kemudian datang
Membawa kertas berpasangan pena
Menenteng mata dengan hatinya
Menjalankan kaki beserta jejak-jejaknya,

Serta….

Menuding-nudingkan berbagai telunjuk
Bersamaan….
Rasa ingin tahu
Yang pura-pura,

Setiap hari ditusuk di tambangi
Muncrat kekentalan-kekentalan kenikmatan,
Hasrat mendesah
Berlomba terengah-engah….

Semburan nafas hangat setengah panas
Terlihat istimewa bagi dunia
Menjulur ke relung jantung semsesta,
Mengundang nama…………

Maka, semua mata terheran-heran,
Dengan deklarasi diri tanpa nurani,
Berdendanglah mulut-mulut buta itu
Dengan lagu-lagu yang sebenarnya tidak bersuara.

Bukan sekedar retorika,
Hanya kemudian alat vital,
Tetaplah sebuah fenomena.
Malang, 15 APRIL 2008

puisi hanya

HANYA

Betapa hanya dunia dapat dilongokkan
Dalam nestapa keseharian,
Terjadi peringkuhan jiwa dan tubuh
Yang tidak bisa dijumlahkan

Goresan-goresan pena
Pun juga kata-kata,
Menggambarkan betapa lukisan-lukisan
Menempelkan diri diatas kain-kain kebohongan.

"Kau berkata itu,
Kau juga berkata ini,"
"Kau menuju kesana,
Kau juga menuju kesini,"
"Kau melihat arah sana,
Kau juga menatap arah sini,"
"Kau melakukan hal itu,
Kau juga melakukan hal ini,"
"Kau juga bahkan menampari si Anu,
Kau pula menampari si Ani."
Lalu pada siapa ada keberpihakan?

Meletup-letuplah desingan peluru motivasi
Yang bersabda:
"Ini, itu"
"Sana, Sini"
"Si Anu dan si Ani".
Malang, 12 Desember 2008