Kamis, 04 September 2008

resah gelisah (1)

Dalam keresahan aku tak bisa mengeluh, Dalam dialektika otakku berputar, Aku tak bisa menemukan teman diskusiku, Setiap aku berlari dari dari sudut ini, Aku terjebak pada sudut yang lain.

Ah! Sebenarnya aku tidak mau terjebak dalam labirin ini, akan tetapi setiap aku mencoba untuk mencari ujungnya disitu aku pasti kutemukan hewan buas yang siap menerkam dan kemudian menelan mentah-mentah tubuhku. Ya! Yang bisa aku lakukan sekarang adalah diam.
Orang bilang kalau tak selamanya diam itu adalah emas, akan tetapi bagiku diam adalah emas untuk selama-lamanya.
**
Malapetaka ini berawal ketika terjadi pemilihan untuk pergantian penguasa baru yang akan memegang tampuk kekuasaan di "Negara"ku. Aku tidak mau menyebut bahwa ada pemimpin di"Negara"ku, yang ada hanyalah penguasa.
Aku sebut demikian karena nilai sakralitas seorang "ketua Negara" di sini, aku pikir terlalu berlebihan. Semua kebijakan yang akan diambil ujung-ujungnya adalah berada ditangan sang penguasa. Berkali-kali diadakan sidang ataupun musyawarah untuk mencapai mufakat, berkali-kali itu juga keputusan harus masuk dalam kubangan keputusan tunggal sang penguasa.
Aku pikir hal ini sangat menyenangkan sekali bagi sang penguasa apabila orang yang memegang kekuasaan tunggal adalah penganut paham diktatorisme ala Hittler, Mussolini, ataupun Hirohito dari negeri matahari terbit. Jika model penguasa penganut paham ini berkata A maka seluruh pelosok negeri harus berkata A, apabila dia berkata B maka semua orang yang tinggal di negeri tersebut harus mengikuti untuk berkata B. Kata-kata penguasa penganut paham ini harus di luroni bak batu intan yang mempunyai harga paling mahal tidak ada tandingannya.
Namun yang terpilih sebagai penguasa adalah aku! Seorang yang menganut paham kolektivitisme sejati ala diriku sendiri dan seorang yang amat mempercayai bahwa kekuasaan tertinggi ada pada musyawarah rakyatku! Sebenarnya pemikiranku ini sudah disahkan menjadi undang-undang tertulis di "Negara" ku, akan tetapi sekali lagi keputusan tertinggi dan mempunyai dasar hukum tertinggi pula adalah permainan kata-kata di otakku yang aku bunyikan dengan mulutku.
Aku ingin katakan pada kalian semua kalau ini bagai neraka bagiku, setiap hari bahkan setiap detik aku seperti merasakan jilatan-jilatan api siksaan yang tak mau melewatkan setiap lubang pori-pori kulitku yang kemudian jilatan-jilatan itu menusukkan jarum-jarum berongga yang memuat berbagai macam racun yang siap merambah jalan seluruh pembuluh darahku. Akhirnya tubuhku remuk kemudian meleleh bersama lelehan cairan racun panas itu. Tak cukup sampai disitu, lelehan tubuhku kemudian hancur meresap kedalam pori-pori tanah dan ikut terkubur didalamnya. Hilang tak berbekas.

Tidak ada komentar: